Silver Time (1)
Bismillahirrahmaanirrahiim…
Assalamu’alaikum
wr wb.
Masya
Allah, Alhamdulillah ternyata akun ini masih ada setelah sekian lama
ditinggalkan pemiliknya karena merantau kesana kemari demi mencari kebaikan
dalam menjemput rezeki-Nya. Hehe
Izinkan
aku untuk kembali menulis sesuka hati tentang apapun yang dapat ku ceritakan
dan mungkin dapat menjadi suatu bahan dalam sedikit usaha kalian untuk Go Ahead.
Ya,
pasti semua orang pernah mengalami yang namanya berusaha. Baik berusaha untuk
bisa bertahan hidup, berjuang untuk bisa sekolah, berusaha untuk dapat
menggapai tujuan hidupnya, bahkan berjuang untuk mempertahankan apa yang telah
dimiliki.
Tapi
mungkin, tidak semua orang mau berusaha untuk bertahan di tengah tekanan. Ya,
tekanan yang dapat membuat siapa yang menerimanya meronta gerah ingin segera
menyelesaikannya walau entah kapan akan berakhir.
Pengalaman
itu yang akan ku ceritakan pada episode blog kali ini, sempat menjadi trauma
besar hingga bergelut dengan keadaan saat ini tetapi justru hal tersebut jadi
bahan motivasi untuk bisa Move dari
semua hal yang tidak menyenangkan itu.
Kalian
tahu? Rasanya, sangat tidak menyenangkan.
Bergelut
dengan rasa tidak nyaman dan harus melawan ketakutan sendiri.
Namun,
apa daya? Yang dipercaya saat itu hanyalah Allahyang akan selalu bersama apapun
yang terjadi kini dan kelak.
***
Tokoh “Aku” menjadi pemeran utama dalam cerita berikut:
Tokoh “Aku” menjadi pemeran utama dalam cerita berikut:
Dimulai
dari masa saat masih unyu-unyu (ehehe sekarang bahasanya unyu-unyu, dulu mah
“cute” :D). Semua hal terjadi begitu saja, sampai akhirnya saat itu banyak yang
sudah memasuki masa-masa puber dini. Namun, aku masih termasuk pada golongan
yang pubernya tidak cepat jadi Alhamdulillah rasa sabar masih cukup baik
mengontrol diri.
Aku
senang belajar, membaca, dan tidak terlalu suka bergaul di sekolah. Padahal di
rumah (dulunya) terkenal karena kebadungannya yang sering main bersama
teman-teman perumahan. Hehe sampai sekarang aku masih merasa malu, mengingat
aku yang dulu belum jadi anak yang baik-baik. Namun, para tetangga juga
mengenalku dengan julukan “si kutu buku” yang selalu dipanggil pulang untuk
belajar oleh mamaku tersayang hehe. Julukan itu hingga dewasa masih terngiang,
hingga saat ini pun jati diriku mulai terbentuk demikian.
Karena
terlalu seringnya di rumah dan mengulik buku, Alhamdulillah Allah percaya agar
aku bisa berprestasi di sekolah. Di luar, dan dimanapun aku menuntut ilmu baru.
Tapi
sayangnya, tidak selalu orang lain menyukai apa yang kita dapatkan.
Kadang,
kita mendapat banyak doa dan sanjungan. Tapi tidak sedikit pula yang justru
member pandangan sinis dengan arogansinya hingga mengatakan itu semua hanya
keberuntunganku semata. Ya, benar. Aku seorang anak yang beruntung.
Masa
sekolah dasar merupakan masa dimana anak-anak sedang senangnya bermain bersama
teman baru. Bahkan mungkin tidak serius untuk belajar di sekolah. Sebagian
diantaranya juga mungkin sepulang sekolah tidak lekas pulang, tetapi bermain
dulu di tempat yang mereka sukai. Dulu, tempat favorit anak-anak SD hanya
sebuah warung jajan, dimana disana kita bisa duduk, makan, dan bermain. Mungkin
juga sebuah lapangan, karena era ’90, lapangan masih luas dan berada
dimana-mana.
Entah
mengapa aku berbeda…
Aku
suka menjadi anak-anak, tetapi tidak suka menjadi remaja. Duniaku tidaklah
sama, karena sejak kecil cara didikan di keluargaku punya khasnya. Pendidikan
agama yang kuat, pendidikan sekolah yang tidak boleh tertinggal, dan waktu
bermain yang singkat.
Saat
itu aku masih duduk di bangku sekolah menengah (maaf tidak disebutkan secara
detail karena mengingat untuk menjaga kebaikan bersama dan tidak mempublish
identitas terkait waktu dan tempat). Jujur saja, aku sangat menyukai masa-masa
sekolahku. Namun, ada hal yang sangat mengusikku hingga meninggalkan luka yang
dalam terbawa sampai sejauh ini.
Awalnya,
aku memiliki banyak teman. Kenalan baru (karena pada saat itu baru tahun ajaran
baru). Aku suka belajar dan membaca. Suka berinteraksi dengan setiap pegawai
sekolah. Namun, tak semua “mata” setuju akan sikap dan kehadiranku yang
demikian.
Perlahan
sikap tidak suka dan sindiran mulai melayang kepadaku. Tatapan sinis dan tidak
suka kembali ku rasakan. Berusaha tidak menggubris adalah salah satu caraku
untuk bisa bertahan dalam situasi. Lalu, apakah itu akan berhenti begitu saja?
Tentu
saja TIDAK!!
Justru
semakin membuatku menyadari bahwa banyaknya yang tidak suka akan pribadiku. Apa
yang salah? Aku tidak mengganggu privasi orang bahkan aku berusaha untuk tidak
merepotkan orang lain. Mengapa ada kebencian dari mata-mata itu?
Setiap
orang pasti punya rasa kepercayaan diri. Tidak terkecuali pemeran dalam cerita
di blog kali ini. Percaya diri untuk melakukan apapun yang baik itu sudah
ajaran dari segi agama dan sosial. Anak remaja seumuran itu, berpikir dengan mindset-nya bahwa semua hal perlu
diperjuangkan.
Tidak
gentar dengan apa yang orang lain katakan, tidak menggubris apa yang
dilontarkan padaku sebagai semua komentar “cabe”, bahkan tidak mengubah sudut
pandangku terhadap penilaian akan rasa pede itu sendiri.
Namun,
semakin hari berlalu, semakin keras terpaan yang ku terima (kayak pohon aja
ketiup angin hehe). Percaya atau tidak, aku semakin masuk dalam black hole yang mengikatku pada sebuah
lingkaran manusia dengan cara pandangnya yang masih belum mampu terarah dengan
baik. Ya mengerti, kami masihlah remaja saat itu.
3
tahun bersama tetapi rasanya itu seperti 5 tahun yang sungguh sangat lama.
Alhamdulillah, diantara semua tekanan itu, aku masih menemukan cahaya yang
mampu untuk membuatku dapat melihat jalan. Aku masih memiliki orang yang peduli
bahkan sayang padaku. Bahkan, aku juga merasakan bagaimana bahagianya bertemu
dengan seseorang yang sangat membuatmu berbunga-bunga walau umurmu belum siap
untuk itu.
Masa
itu, aku mampu segera beradaptasi kembali. Mulai dari kegiatan di dalam
sekolah, ekstrakurikuler, bahkan aktif pula di organisasi dan keikutsertaan dalam
perlombaan berbagai tingkat. Namun, tetap saja. Para “mata pisau” itu menatapku
justru lebih tajam.
Prasangka
buruk, cacian, tudingan, kebohongan, bahkan hingga diskriminasi.
Semakin
berlalu, semakin terasa tahun itu menjadi lebih lama. Bahkan, menjadi semakin
berat “tiupan angin” yang menerpa. Apa yang salah? Apa yang salah denganku?
Permainan
itu sangatlah tidak menarik dan tidak lucu. Mengapa dimainkan? Apa yang sedang
dinikmati? Pikirku dalam benak yang terpuruk.
Setiap
remaja punya haknya untuk menjadi apapun yang mereka inginkan, tetapi bukan
berarti yang diinginkan itu justru harus mengorbankan orang lain. Pernahkah berpikir
bahwa kita hidup tidak lama? Hidup ini milik Allah swt. Manusia manapun tidak
berhak untuk mengadili hidup seseorang, apalagi yang berusaha bersikap sesuai.
Sebelum
permainan ini berakhir, mungkin beberapa kali pemerannya hampir jatuh. Tidak
masuk ke lubang hitam, tapi hanya tergelincir untuk kembali lagi. Dalam 3 tahun
lebih mungkin, sudah 4-5 kartu rumah sakit orang tuaku telah miliki dengan nama
pesertanya yang selalu sama, ya, namaku. Sebuah pertahanan yang sangat keras
hingga harus jatuh bangun, untuk bisa bangkit kembali dan bersembunyi.
“Mengapa tidak kamu laporkan saja?”
Tidak
semudah itu, aku bukanlah orang yang dapat dengan mudah menyerah.
Mungkin
memang benar, keadaanku tidak lagi sama sejak menginjakkan kaki disana. Namun,
yang harus ku bekali dalam diri adalah aku mampu menjadi diriku yang berani
bertahan menantang permainan itu sendiri.
Sekeras
apapun lubang hitam berusaha untuk menjatuhkan, Alhamdulillah gelombang postifi
selalu menyertai.
Alhamdulillah,
masih bertahan dengan prestasi di dalam dan di luar sekolah. Tanpa harus
menggubris apa yang mereka katakan.
“Apa yang sebenarnya lubang hitam lakukan?”
Tidak
perlu tahu detailnya, atau mungkin lain kali. Karena buatku saat ini, berbagi
nilai positinf akan lebih penting, jauh lebih penting bagi para readers yang
mungkin juga mengalami hal yang sama.
Orang
tuaku sampai di akhir cerita belum mengetahui apa yang terjadi pada anaknya. Karena
aku lebih tidak ingin mereka ikut bergelut peran dalam action si lubang hitam ini. Aku rasa aku masih sanggup.
Namun,
sampai di suatu masa dimana semua semakin berat.
Kehilangan
teman, bahkan mereka yang dulunya dekat denganku diperdaya bahkan juga dihasut
untuk tidak boleh mendekatiku. Ya, aku sendiri.
Ancaman
untuk tidak boleh menonjol di sekolah, tidak dekat dengan siapapun, tidak boleh
terlalu akrab dengan para guru, tidak boleh menjadi rajin dan pintar, tidak
boleh berprestasi, dan bahkan dihujat dengan siapapun aku sedang dekat saat
itu, sudah dialami hingga akhir-akhir perjuangan. Mengingat sebentar lagi lulus
sekolah, aku akan segera terbebas.
*** To Be Continue.
*** To Be Continue.
Komentar
Posting Komentar